BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penguasaan suatu wilayah
teritorial merupakan salah satu unsur pokok dari status kenegaraan. Di dalam
wilayah tersebut otoritas tertinggi terletak pada negara terkait. Karena hal
tersebut, maka muncullah sebuah istilah kedaulatan teritorial. Kedaulatan teritorial
memiliki definisi bahwa di dalam wilayah yang disebut wilayah teritorial
tersebut yurisdiksi yang dilaksanakan oleh negara atas penduduknya dan harta
benda yang terdapat di dalamnya merupakan hukum dari negara yang bersangkutan,
bukan hukum negara lain.
Kedaulatan teritorial
dilukiskan oleh Max Huber, Arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration,
dengan kalimat:
“Kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan.
Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari muka bumi adalah hak untuk
melaksanakan di dalamnya, terlepas dari negara lain, fungsi-fungsi suatu
negara.”
Salah satu dari unsur pokok
status kenegaraan adalah penguasaan suatu wilayah teritorial, di dalam wilayah
mana berlaku hukum negara tersebut. Terhadap wilayah ini otoritas tertinggi
berada pada negara terkait. Kadang-kadang dikatakan bahwa kedaulatan teritorial
tidak dapat dibagi-bagi, akan tetapi terdapat sejumlah contoh dalam praktek
internasional baik yang mengenai pembagian kedaulatan maupun distribusi
komponen-komponen kedaulatan.
Lima cara tradisional dan
pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan teritorial adalah: okupasi,
aneksasi, penambahan (accretion) wilayah, preskripsi (prescription) dan
penyerahan (cession). Cara-cara ini secara langsung beranalogi pada
metode-metode hukum sipil mengenai kepemilikan pribadi. Cara-cara diperolehnya
wilayah ini telah banyak berkurang menjadi dipertunjukannya suatu kontrol dan
kewenangan baik oleh negara yang mengklaim kedaulatan ataupun oleh suatu negara
dari mana negara yang mengklaim kedaulatan dapat membuktikan bahwa hak tersebut
telah dirampas.
Satu cara tambahan
diperolehnya kedaulatan teritorial, yang tidak termasuk dalam kategori yang
dikemukakan di atas, yang perlu diperhatikan yaitu keputusan oleh Konferensi
negara-negara. Hal ini biasanya terjadi apabila suatu Konferensi negara-negara
pemenang perang pada akhir peperangan menyerahkan kepada negara tertentu
sehubungan dengan suatu penyelesaian perdamaian umum. Misalnya pada pembagian
kembali wilayah Eropa pada waktu Konferensi Versailles tahun 1919. Menurut
doktrin Soviet, kedaulatan teritorial juga dapat diperolah dengan cara plebisit
(penentuan kehendak rakyat), meskipun hal ini tampaknya lebih merupakan
pengurangan atas cara perolehan dibanding sebagai langkah yang mendahului
diperolehnya kedaulatan.
Pendekatan cara-cara
perolehan dengan penciptaan dan pengalihan kedaulatan teritorial keduanya
adalah logis baik dalam hal prinsip maupun nilai praktisnya, dengan ketentuan
bahwa dalam menggunakan pendekatan ini diperlukan kehati-hatian agar tidak
mengacaukan cara-cara tersebut dengan unsur-unsur komponennya.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas
tentang salah satu cara tradisional diperolehnya kedaulatan teritorial secara
okupasi dengan batasan masalah
1. Pengertian
Okupasi
2. Teori-teori
Okupasi
3. Contoh
penguasaan teritorial secara Okupasi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Okupasi
Okupasi merupakan penegakan
kedaulatan atas wilayah yang tiak berada di bawah penguasaan negara manapun,
baik wilayah yang baru ditemukan atupun suatu hal yang tidak mungkin yang
ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Secara klasik, pokok permasalahan
dari suatu okupasi adalah terra nullius dan
wilayah yang didiaminya oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang memiliki
organisasi sosial dan politik tidak termasuk dalam terra nullius1. Apabila
wilayah daratan didiami oleh suku-suku atau rakyat yang terorganisir, maka
kedaulatan teritorial harus diperoleh dengan membuat perjanjian-perjanjian
lokal dengan penguasaan-penguasaan atau wakil-wakil suku atau rakyat tersebut.
Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan
sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan
diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam Eastern Greenland Case2,
Permanent Court Of International Justice menetapkan bahwa okupasi, supaya
efektif mensyaratkan dua unsur di pihak negara yang melakukan:
a.
Suatu kehendak atau keinginan untuk bertindak sebagai yang berdaulat;
b.
Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.
Unsur
kehendak merupakan masalah kesimpulan dari semua fakta, meskipun kadang-kadang
kehendak tersebut dapat secara formal ditegaskan dalam pengemuman resmi kepada
negara-negara lain yang berkepentingan. Dalam hal ini harus terbukti tidak
kurang dari pada suatu maksud tetap untuk memegang kontrol, suatu pendudukan
yang bersifat sementara waktu oleh negara yang dianggap melakukan tindakan
okupasi dengan sendirinya tidak cukup memenuhi syarat ini.Juga
aktivitas-aktivitas individu pribadi yang tidak terkait dan tidak memiliki
otoritas, tanpa ratifikasi saja, pun apabila disertai dengan suatu pernyataan
kedaulatan in situ, atau suatu
pengibaran suatu bendera nasional dan lain-lain, oleh para penulis hanya
dianggap suatu hak taraf pendahuluan saja, kecuali apabila penemuan tersebut
disempurnakan dengan tindakan-tindakan atau aktivitas yang lebih nyata.
Berkaitan dengan syarat kedua yaitu pelaksanaan atau
dipertunjukkannya kedaulatan, hal ini dapat dipenuhi dengan bukti konkret
pemilikan atao kontrol, atau sesuai dengan sifat kasusnya, suatu asumsi fisik
dari kedaulatan dapat dipertunjukkan dengan suatu tindakan yang jelas atau
simbolis atau langkah-langkah legislatif dan eksekutif yang berlaku di wilayah
yang diklaim, atau melalui traktat-traktat dengan negara lain yang mengakui
kedaulatan negara penuntut tersebut, dengan penetapan batas-batas wilayah dan
seterusnya.Tingkat kekuasaan yang diperlukan untuk tujuan ini berbeda-beda
sesuai dengan keadaan-keadaan, dengan demikian suatu wilayah yang relatif
terbelakang tidak memerlukan kontrol dan pemerintahan yang sama rincinya dengan
wilayah yang lebih maju atau beradab.
Suatu
tindakan okupasi lebih sering mencakup tindakan penemuan di dalam tahap
awalnya. Hal ini tampak dari Island of Palmas Arbitration yang telah
dikemukakan, yang diputuskan oleh Max Huber selaku Arbitrator, bahwa suatu
tindakan yang hanya bersifat menemukan semata-mata oleh suatu negara dan tidak
lebih dari itu tidak cukup untuk memberikan hak okupasi, dan bahwa kepemilikan
yang tidak lengkap tersebut harus mengarah kepada suatu otoritas nyata yang
berlangsung terus-menerus dan secara damai oleh negara lain. Dalam arbitrasi
ini, persaingan hak terjadi antara Amerika serikat yang mengajukan sebagai
pengganti Spanyol yang paling awal menemukan pulau tersebut. Arbitrator
menyerahkan pulau tersebut kepada Netherlands, karena dianggap berdasarkan
bukti sejarah yang dikemukakan jauh lebih dulu pada Mahkamah Arbitrase dan telah
cukup lama menjalankan kedaulatannya di pulau tersebut.
2.2. Teori-teori
Okupasi
Diperlukan
teori untuk menentukan keluasan wilayah yang tercakup oleh tindakan okupasi.
Beragam teori mengenai masalah ini telah dikemukakan dari waktu ke waktu3
dan dua dari teori-teori tersebut dianggap memiliki arti penting dalam
kaitannya dengan klaim-klaim beberapa negara tertentu di daerah kutub, yaitu:
a. Teori Kontinuitas, menurut teori ini mana suatu tindakan
okupasi disuatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan
okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam di
wilayah terkait.
b. Teori Kontiguitas,
menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup
wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan
wilayah terkait.
Kedua teori tersebut sampai
tingkat tertentu tercermin dalam klaim-klaim yang diajukan oleh negara-negara
terhadap wilayah kutub berdasarkan prinsip sektor. Dengan klaim-klaim
berdasarkan prinsip ini, beberapa negara yang wilayahnya berbatasan dengan
daerah kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatan terhadap tanah atau laut
yang membeku di dalam suatu sektor yang dibatasi oleh garis pantai wilayah ini
dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan di Kutub Utara atau Kutub Selatan.
Klaim-kalim seperti ini telah dikemukakan baik di Artic (oleh Uni Siviet dan
Kanada khususnya) maupun di Antartika (oleh Argentina, Australia, Inggris).
Dasar pembenaran utama untuk klaim-kalim sektor tersebut adalah tidak dapat
diterapkannya terhadap wilayah-wilayah kutub yang tidak dapat dimasuki, dengan
kondisi-kondisi iklim dan kurangnya pemukiman, prinsip-prinsip normal asumsi
fisik kontrol yang tersirat dalam hukum internasional mengenai okupasi.
Satu hal yang jelas, praktek
sejumlah kecil negara pada waktu mengajukan klaim-kalim sektor tidak
menciptakan suatu kaidah kebiasaan bahwa suatu metode diperolehnya wilayah
kutub tersebut diperkenankan dalam hukum internasional. Yang perlu diperhatikan
di sini hanyalah keberatan-keberatan dari negara-negara non-sektor dan keraguan
para yuris terhadap validitas klaim-kalim sektor, dan pendapat umum yang
disampaikan bahwa kawasan kutub harus
tunduk pada rezim internasional.
2.3. Contoh
penguasaan teritorial secara Okupasi
SENGKETA
PULAU MIANGAS
Pulau Miangas hanyalah satu dari 12 pulau terluar di Nusantara yang lama
nyaris tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Miangas adalah pulau terluar
Indonesia yang terletak dekat perbatasan antara Indonesia dengan Filipina.
Pulau ini termasuk ke dalam desa Miangas, kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan
Talaud, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Miangas adalah salah satu pulau
yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan
Filipina. Masyarakat setempat menamakan Mangiasa yang berarti menangis atau
kasihan karena letaknya sangat terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi
laut. Ada pula yang menyebut Pulau Tinonda yang berarti diseberangkan karena
upaya Raja Talaud yang memindahkan atau menyeberangkan beberapa keluarga dari
Pulau Karakelang ke Pulau Miangas.
Sejak dahulu Miangas sudah
menjadi tapal batas utara bagi Kerajaan Talaud bersama Pulau Napombalu sebagai
batas selatannya. Setelah sistem kerajaan berakhir, secara administratif Pulau
Miangas menjadi bagian wilayah Pemerintahan Kabupaten Sangihe-Talaud dan kini
berkembang masuk wilayah Nanusa – Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi
Utara.
Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Indonesia
sehingga rawan masalah perbatasan, terorisme serta penyelundupan. Pulau ini
memiliki luas sekitar 3,15 km². Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa
adalah sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Pulau Miangas
memiliki jumlah penduduk sebanyak 678 jiwa (2003) dengan mayoritas adalah Suku
Talaud. Secara geografis posisi Pulau Miangas berada di 5 derajat 33/lintang
utara dan 126 derajat 34/bujur timur. Perkawinan dengan warga Filipina tidak
bisa dihindarkan lagi dikarenakan kedekatan jarak dengan Filipina. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat lebih mudah dan murah membeli dari
wilayah Filipina. Bahkan uang yang mereka pergunakan umumnya adalah peso.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas
dan Filipina semakin intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas
antara kedua negara. Ironisnya, intensitas hubungan kedua negara tidak
mempengaruhi kesadaran nasional warga kepulauan tersebut. Masyarakat setempat
lebih mengenal pejabat Filipina ketimbang Indonesia. Hal ini terungkap ketika
pada awal 1970-an sejumlah pejabat pemerintah pusat yang menyertai kunjungan
Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat
potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos menghiasi rumah penduduk.
Mulai saat itu pula, kehidupan masyarakat perbatasan di
Kabupaten Sangihe-Talaud mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain
dengan membuka jaringan pelayaran perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun
keterpencilan membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-pulau perbatasan
namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, setidaknya
dalam pendidikan mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini tentu
positif bagi keutuhan bangsa dan negara RI.
Okupasi Indonesia di Pulau Miangas dengan pemberian Kartu
Tanda Penduduk (KTP), pembangunan jaringan Perusahaan Listrik Tenaga Disel 10
KVA, dan pemasangan simbol-simbol negara.
Faktor
Kerawanan
1. Letak geografis di
persimpangan jalan antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dan Benua Asia
dan Australia sehingga sering dilewati pelayaran Internasional.
2. Struktur negeri yang berbentuk kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80.000 km terpanjang didunia yang pada umumnya terbuka di kawasan sekitar 8 juta km 2 yang tersebar secara tidak teratur yang didiami oleh penduduk secara tiadak merata bahkan masih banyak pulau-pulau yang tak berpenduduk.
2. Struktur negeri yang berbentuk kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80.000 km terpanjang didunia yang pada umumnya terbuka di kawasan sekitar 8 juta km 2 yang tersebar secara tidak teratur yang didiami oleh penduduk secara tiadak merata bahkan masih banyak pulau-pulau yang tak berpenduduk.
3. Isu-isu globalisasi terutama
yang menyangkut demokratisasi hak asasi manusia ,liberalisasi ekonomi dan
informasi telah meningkatkan kerawanan-kerawanan di daerah perbatasan.
4. Masih ada batas-batas
laut negara yang sudah dirundingkan dan disepakati secara bilateral ,belum memiliki
pengakuan secara Internasional dikarenakan batas-batas laut tersebut belum
didepositkan di PBB.
Pengakuan Filipina Atas Pulau Miangas
Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu dan
Trakat Paris tahun 1989, merupakan wilayah Philiphina. Pernyataan Konsulat
Jenderal RI untuk Davao City Philipina yang mengejutkan bahwa Pulau Miangas dan
Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu merupakan wilayah
Philiphina, bahkan masalah ini dengan UU pemerintah Philipina yang baru, kedua
pulau ini telah masuk pada peta pariwisata Philipina. Pemerintah Philipina
mengakui keberadaan pulau Miangas sebagai miliknya berdasarkan Trakat Paris
tahun 1989, Trakat Paris tersebut memuat batas-batas Demarkasi Amerika serikat
(AS) setelah menang perang atas Spanyol yang menjajah Philipina hingga ke
Miangas atau La Palmas. Trakat itu sudah dikomunikasikan Amerika Serikat ke
Pemerintah Hindia Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal yang diajukan
pemerintah hindia Belanda terhadap Trakat itu. Akan tetapi, putusan arbiter
internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas kepemilikan Pulau Miangas.
Menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep “hukum
intertemporal” dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional
diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu. Dalam hal ini bukanlah
menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara
historis.
Sengketa Indonesia dengan
Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai
Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai
Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas
(Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh
Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di
Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang
paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Hingga kini Indonesia dan Philipina
belum mengikat perjanjian batas wilayah tersebut. Selanjutnya, dalam beberapa
kesempatan perundingan bilateral Indonesia–Filipina sering muncul argumentasi
yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina masih menggunakan
dalil bahwa Las Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat Paris 1898
dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan
Magelhaens di pulau pada tahun 1512. Di samping itu, konstitusi Filipina masih
menyebutkan Las Palmas dalam yurisdiksi dan kedaulatannya.
Argumentasi di atas, dapat ditepis Pemerintah RI
berdasarkan penetapan batas wilayah “Kerajaan Kepulauan Talaud” yang menjadi
bagian dan tradisi masyarakat setempat. Secara historis, pengakuan batas
wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi sejak kepulauan Talaud dan Filipina bagian
selatan berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tidore. Dalam hal ini, Indonesia
harus menggunakan argumentasi historis-politis dan administratif.
Bersamaan argumen di atas, langkah pemindahan sebagian
penduduk dan dilanjutkan dengan pembangunan gereja serta pendirian Jemaat
Kristen Protestan sebagai bagian dari GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe dan
Talaud) merupakan hal yang berguna bagi status Pulau Miangas. Karena ini
dianggap sebagai tindakan aktif yang menghadirkan institusi gereja di pulau
ini. Bahkan tercatat wilayah pelayanan gereja (GMIST) mencakup Filipina bagian
selatan.
Seiring perkembangan
waktu, isu Miangas mencuat kembali di awal tahun 2002. Adanya pernyataan yang
menilai Pulau Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, mengundang keprihatinan
penduduk di pulau yang berdekatan dengan negara Filipina itu. “Kami sangat
prihatin akan pemberitaan mengenai Pulau Miangas yang seakan-akan tidak ada
mengandung fakta-fakta hukum dari seorang yang dianggap dituakan di daerah,
yang dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap pulau Miangas sebagai bagian dari
wilayah kepulauan Indonesia”.
Sehubungan dengan itu,
masyarakat setempat menyatakan bahwa jika demikian halnya, biarlah rakyat
Miangas yang bertanggungjawab sendiri kepada PBB. Dalam menanggapi isu bahwa
Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, warga menyatakan akan tetap
mempertahankan pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Karena itu, sebagaimana
yang tertuang dalam kebulatan tekad masyarakat Pulau Miangas dan ditandatangani
oleh 20 perwakilan masyarakat dari 4 delegasi, dengan tegas menolak penguasaan
wilayah perbatasan Indonesia (Pulau Miangas) oleh bangsa lain. Menurut mereka,
hal ini bertentangan dengan konstitusi dan Hak Asasi Manusia.
Hampir senada dengan
politisi Sangihe-Talaud, sejumlah politisi Filipina yang berada di Davao,
Mindanau serta para kalangan akademisi mengangkat isu tentang kepemilikan Pulau
Miangas, Marore dan Marampit. Bahkan, seorang Profesor di Universitas Filipina,
H. Harry Roque menyatakan putusan pada tanggal 4 April 1928 antara Amerika
Serikat dengan Belanda belum final karena Pulau Miangas, Marore dan Marampit
termasuk dalam traktat Paris tersebut.
Padahal menurut catatan,
pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil perundingan antara
pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan Pulau Miangas termasuk
dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri budayanya sama dengan
masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia
tanggal 17 Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah dari Pulau Sabang
sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang. Hal itu lebih
dipertegas lagi dengan diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan
Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana Miangas tetap berada dalam
wilayah Indonesia.
Kiranya, klaim politis
yang berkembang saat ini Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadi
sebagaimana Sipadan dan Ligitan. Setelah pernyataan klaim politis atas Pulau
Miangas (2002), jawaban resmi pemerintah Filipina lewat Menteri Luar Negeri
Blas F. Ople menyatakan bahwa Miangas yang dalam Peta Filipina disebut Las
Palmas, adalah sah milik Indonesia. Bahkan dalam kesempatan kunjungan tiga hari
Menlu Blas F. Ople di Manado (1-3 Mei 2003), menawarkan kerjasama di bidang
Keamanan dan Ekonomi mengingat intensitas dan aktifitas masyarakat kedua negara
sangat potensial dan sudah terjalin sejak lama.
Putusan
Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal
17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P.
Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai
kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut
resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang
hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing
suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak
yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah
masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah
air.
B A B III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Okupasi
merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tiak berada di bawah
penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan atupun suatu hal
yang tidak mungkin yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya.
Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan
sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan
diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam Eastern Greenland Case, Permanent
Court Of International Justice menetapkan bahwa okupasi, supaya efektif mensyaratkan
dua unsur di pihak negara yang melakukan:
a.
Suatu kehendak atau keinginan untuk bertindak sebagai yang berdaulat;
b.
Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.
Diperlukan
teori untuk menentukan keluasan wilayah yang tercakup oleh tindakan okupasi.
Beragam teori mengenai masalah ini telah dikemukakan dari waktu ke waktu dan
dua dari teori-teori tersebut dianggap memiliki arti penting dalam kaitannya
dengan klaim-klaim beberapa negara tertentu di daerah kutub, yaitu:
a. Teori Kontinuitas, menurut teori ini mana suatu tindakan
okupasi disuatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan
okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam di
wilayah terkait.
b. Teori
Kontiguitas, menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi
tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis
berhubungan dengan wilayah terkait.
3.2. Saran
Hilangnya Pulau Ligitan dan
Ambalat sebagai pelajaran bagi Indonesia untuk terus memantau dan meratakan
pembangunan disetiap wilayah NKRI, agar tidak mudah lepas dan dikuasai oleh
negara lain. Berikan perhatian lebih kepada daerah-daerah terpencil agar
benar-benar merasa utuh menjadi wilayah kesatuan RI.
|
Judul :
TEORI OKUPASI TERITORIAL
Disusun oleh :
Maya
Sari Dewi
Ruang 434
Fakultas Hukum
UNIVERSITAS PAMULANG
Pamulang, Januari 2012
|
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………….....………… i
DAFTAR ISI
……………………………………………………………………....………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
…………………………………………....……………..
1
1.2. Rumusan
Permasalah ………………..…………………………....………………. 1
BAB II PEMBAHASAN MATERI
2.1. Pengertian Okupasi …………………………………..................................... 3
2.2. Teori-teori
Okupasi .........................……………....................……….........
4
2.3 Contoh
penguasaan teritorial secara Okupasi ..........………………….. 5
BAB III SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan …………………………………….…………………………..……....12
3.2. Saran ……………………………………………….………………………....... 12
|
Puji dan
syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa karena atas karunia dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Hukum Internasional, walaupun
dengan keterbatasan ilmu dan wawasan serta berpedoman pada literatur yang ada
dan daftar kepustakaan akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini walaupun
masih banyak kekurangannya.
Dalam
penyusunan tugas ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan
sehingga perlunya adanya saran dan sumbangan pikiran agar tugas makalah
ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi
kalangan akademisi guna menambah wawasan.
Harapan kami
semoga tugas ini dapat digunakan sebagai bahan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Dagang.
Penyusun
|
http://imran.ngeblogs.com/2009/12/20/544/ Disadur pada:
15 Februari
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, edisi: 10.
Jakarta: Sinar Grafika
www.kbrisingapura.com/docs/reklamasi_bab2a.pdf
1 Advisory
opinion of the International Court of Justice on the Western Sahara, ICJ 1975, 12. Mengenai permasalahan Kolonisasi
dengan okupasi wilayah-wilayah afrika yang pada saat itu, didiami oleh
suku-suku bangsa, lihat Malcom Shaw, Title
to Trritory In Africa; International Legal Issue (1984)
2 (1993) Pub PCIJ Series A/B, No. 53.
3 Untuk
pembahasan atas teori-teori itu, lihat Westlake, International Law (2nd edn,
1910) Vol I, hal 113 dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar