Selasa, 25 September 2012

KDRT


PENYEBAB MARAKNYA TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(UNDANG-UNDANG RI NO. 23 TAHUN 2004)
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi” tersebut meliputi:
a.         Ideologi, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan;
b.         Tindakan, pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
c.         Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung;
d.         Akibat;
e.         Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak dan  kebebasan,
f.          Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,) dan oleh setiap pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian diskriminasi tersebut sangat jelas digambarkan adanya pembedaan perlakuan berupa pengucilan atau pembatasan terhadap perempuan (atas dasar jenis kelamin) yang mempunyai ‘pengaruh’ atau  ‘tujuan’ untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya. Dalam rangka melakukan pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan-kebijakan pelaksanaannya, Indonesia terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan perundang-undangan baru atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni, pembaharuan sistem hukum secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang jelek atau salah dari sistem hukum tersebut agar menjadi benar dan lebih baik dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dalam hal ini, Indonesia antara lain telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT)  yang dalam pertimbangan serta pengaturannya sarat dengan muatan yang memperhatikan perspektif gender.
Definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 UU-PKDRT sebagai berikut:
”Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Korelasi lain bahwa KDRT adalah merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan juga sebagai bentuk diskriminasi, adalah sebagaimana dinyatakan dalam Alinea ke-empat Penjelasan Umum UU-PKDRT, yang menegaskan: ”........Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pernyataan atas pandangan negara tersebut adalah sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya, dan amanat Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11):
a.         Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi korban;
b.         Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
c.         Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap korban;
d.         Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
e.         Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau penanganan korban.
Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT  juga sudah mulai nampak perhatiannya, namun masih perlu ditingkatkan pemahaman dan kewaspadaannya akan akibat KDRT melalui peningkatan kepedulian sosial di lingkungan sekitarnya.
Adanya sistem hukum yang belum bersahabat dengan perkara-perkara KDRT bukan semata karena isi undang-undangnya, namun lebih pada mindset para aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan masyarakat luas yang masih dilingkupi pandangan yang patrarkhis sehingga tindakan-tindakan diskriminatif kerapkali mewarnai pada kehidupan sehari-hari sebagai bukti adanya KDRT terjadi dalam masyarakat. Langkah untuk menuju adanya sistem hukum yang responsif gender masih butuh perjuangan keras melalui berbagai upaya, termasuk untuk solusi pemecahan akar-akar permasalahannya.