Selasa, 25 September 2012

KDRT


PENYEBAB MARAKNYA TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(UNDANG-UNDANG RI NO. 23 TAHUN 2004)
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi” tersebut meliputi:
a.         Ideologi, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan;
b.         Tindakan, pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
c.         Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung;
d.         Akibat;
e.         Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak dan  kebebasan,
f.          Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,) dan oleh setiap pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian diskriminasi tersebut sangat jelas digambarkan adanya pembedaan perlakuan berupa pengucilan atau pembatasan terhadap perempuan (atas dasar jenis kelamin) yang mempunyai ‘pengaruh’ atau  ‘tujuan’ untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya. Dalam rangka melakukan pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan-kebijakan pelaksanaannya, Indonesia terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan perundang-undangan baru atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni, pembaharuan sistem hukum secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang jelek atau salah dari sistem hukum tersebut agar menjadi benar dan lebih baik dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dalam hal ini, Indonesia antara lain telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT)  yang dalam pertimbangan serta pengaturannya sarat dengan muatan yang memperhatikan perspektif gender.
Definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 UU-PKDRT sebagai berikut:
”Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Korelasi lain bahwa KDRT adalah merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan juga sebagai bentuk diskriminasi, adalah sebagaimana dinyatakan dalam Alinea ke-empat Penjelasan Umum UU-PKDRT, yang menegaskan: ”........Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pernyataan atas pandangan negara tersebut adalah sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya, dan amanat Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11):
a.         Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi korban;
b.         Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
c.         Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap korban;
d.         Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
e.         Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau penanganan korban.
Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT  juga sudah mulai nampak perhatiannya, namun masih perlu ditingkatkan pemahaman dan kewaspadaannya akan akibat KDRT melalui peningkatan kepedulian sosial di lingkungan sekitarnya.
Adanya sistem hukum yang belum bersahabat dengan perkara-perkara KDRT bukan semata karena isi undang-undangnya, namun lebih pada mindset para aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan masyarakat luas yang masih dilingkupi pandangan yang patrarkhis sehingga tindakan-tindakan diskriminatif kerapkali mewarnai pada kehidupan sehari-hari sebagai bukti adanya KDRT terjadi dalam masyarakat. Langkah untuk menuju adanya sistem hukum yang responsif gender masih butuh perjuangan keras melalui berbagai upaya, termasuk untuk solusi pemecahan akar-akar permasalahannya.

Minggu, 04 Maret 2012

MAKALAH HK. INTERNASIONAL OKUPASI


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
          Penguasaan suatu wilayah teritorial merupakan salah satu unsur pokok dari status kenegaraan. Di dalam wilayah tersebut otoritas tertinggi terletak pada negara terkait. Karena hal tersebut, maka muncullah sebuah istilah kedaulatan teritorial. Kedaulatan teritorial memiliki definisi bahwa di dalam wilayah yang disebut wilayah teritorial tersebut yurisdiksi yang dilaksanakan oleh negara atas penduduknya dan harta benda yang terdapat di dalamnya merupakan hukum dari negara yang bersangkutan, bukan hukum negara lain.
          Kedaulatan teritorial dilukiskan oleh Max Huber, Arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration, dengan kalimat:
“Kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari muka bumi adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, terlepas dari negara lain, fungsi-fungsi suatu negara.”
          Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan adalah penguasaan suatu wilayah teritorial, di dalam wilayah mana berlaku hukum negara tersebut. Terhadap wilayah ini otoritas tertinggi berada pada negara terkait. Kadang-kadang dikatakan bahwa kedaulatan teritorial tidak dapat dibagi-bagi, akan tetapi terdapat sejumlah contoh dalam praktek internasional baik yang mengenai pembagian kedaulatan maupun distribusi komponen-komponen kedaulatan.
          Lima cara tradisional dan pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan teritorial adalah: okupasi, aneksasi, penambahan (accretion) wilayah, preskripsi (prescription) dan penyerahan (cession). Cara-cara ini secara langsung beranalogi pada metode-metode hukum sipil mengenai kepemilikan pribadi. Cara-cara diperolehnya wilayah ini telah banyak berkurang menjadi dipertunjukannya suatu kontrol dan kewenangan baik oleh negara yang mengklaim kedaulatan ataupun oleh suatu negara dari mana negara yang mengklaim kedaulatan dapat membuktikan bahwa hak tersebut telah dirampas.
          Satu cara tambahan diperolehnya kedaulatan teritorial, yang tidak termasuk dalam kategori yang dikemukakan di atas, yang perlu diperhatikan yaitu keputusan oleh Konferensi negara-negara. Hal ini biasanya terjadi apabila suatu Konferensi negara-negara pemenang perang pada akhir peperangan menyerahkan kepada negara tertentu sehubungan dengan suatu penyelesaian perdamaian umum. Misalnya pada pembagian kembali wilayah Eropa pada waktu Konferensi Versailles tahun 1919. Menurut doktrin Soviet, kedaulatan teritorial juga dapat diperolah dengan cara plebisit (penentuan kehendak rakyat), meskipun hal ini tampaknya lebih merupakan pengurangan atas cara perolehan dibanding sebagai langkah yang mendahului diperolehnya kedaulatan.
          Pendekatan cara-cara perolehan dengan penciptaan dan pengalihan kedaulatan teritorial keduanya adalah logis baik dalam hal prinsip maupun nilai praktisnya, dengan ketentuan bahwa dalam menggunakan pendekatan ini diperlukan kehati-hatian agar tidak mengacaukan cara-cara tersebut dengan unsur-unsur komponennya.
B.      Rumusan Masalah
          Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu cara tradisional diperolehnya kedaulatan teritorial secara okupasi dengan batasan masalah
1.      Pengertian Okupasi
2.      Teori-teori Okupasi
3.      Contoh penguasaan teritorial secara Okupasi



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.     Pengertian Okupasi

             Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tiak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan atupun suatu hal yang tidak mungkin yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Secara klasik, pokok permasalahan dari suatu okupasi adalah terra nullius dan wilayah yang didiaminya oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak termasuk dalam terra nullius1.  Apabila wilayah daratan didiami oleh suku-suku atau rakyat yang terorganisir, maka kedaulatan teritorial harus diperoleh dengan membuat perjanjian-perjanjian lokal dengan penguasaan-penguasaan atau wakil-wakil suku atau rakyat tersebut.
          Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam Eastern Greenland Case2, Permanent Court Of International Justice menetapkan bahwa okupasi, supaya efektif mensyaratkan dua unsur di pihak negara yang melakukan:
a.        Suatu kehendak atau keinginan untuk bertindak sebagai yang berdaulat;
b.        Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.
          Unsur kehendak merupakan masalah kesimpulan dari semua fakta, meskipun kadang-kadang kehendak tersebut dapat secara formal ditegaskan dalam pengemuman resmi kepada negara-negara lain yang berkepentingan. Dalam hal ini harus terbukti tidak kurang dari pada suatu maksud tetap untuk memegang kontrol, suatu pendudukan yang bersifat sementara waktu oleh negara yang dianggap melakukan tindakan okupasi dengan sendirinya tidak cukup memenuhi syarat ini.Juga aktivitas-aktivitas individu pribadi yang tidak terkait dan tidak memiliki otoritas, tanpa ratifikasi saja, pun apabila disertai dengan suatu pernyataan kedaulatan in situ, atau suatu pengibaran suatu bendera nasional dan lain-lain, oleh para penulis hanya dianggap suatu hak taraf pendahuluan saja, kecuali apabila penemuan tersebut disempurnakan dengan tindakan-tindakan atau aktivitas yang lebih nyata.
          Berkaitan dengan syarat kedua yaitu pelaksanaan atau dipertunjukkannya kedaulatan, hal ini dapat dipenuhi dengan bukti konkret pemilikan atao kontrol, atau sesuai dengan sifat kasusnya, suatu asumsi fisik dari kedaulatan dapat dipertunjukkan dengan suatu tindakan yang jelas atau simbolis atau langkah-langkah legislatif dan eksekutif yang berlaku di wilayah yang diklaim, atau melalui traktat-traktat dengan negara lain yang mengakui kedaulatan negara penuntut tersebut, dengan penetapan batas-batas wilayah dan seterusnya.Tingkat kekuasaan yang diperlukan untuk tujuan ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan-keadaan, dengan demikian suatu wilayah yang relatif terbelakang tidak memerlukan kontrol dan pemerintahan yang sama rincinya dengan wilayah yang lebih maju atau beradab.
          Suatu tindakan okupasi lebih sering mencakup tindakan penemuan di dalam tahap awalnya. Hal ini tampak dari Island of Palmas Arbitration yang telah dikemukakan, yang diputuskan oleh Max Huber selaku Arbitrator, bahwa suatu tindakan yang hanya bersifat menemukan semata-mata oleh suatu negara dan tidak lebih dari itu tidak cukup untuk memberikan hak okupasi, dan bahwa kepemilikan yang tidak lengkap tersebut harus mengarah kepada suatu otoritas nyata yang berlangsung terus-menerus dan secara damai oleh negara lain. Dalam arbitrasi ini, persaingan hak terjadi antara Amerika serikat yang mengajukan sebagai pengganti Spanyol yang paling awal menemukan pulau tersebut. Arbitrator menyerahkan pulau tersebut kepada Netherlands, karena dianggap berdasarkan bukti sejarah yang dikemukakan jauh lebih dulu pada Mahkamah Arbitrase dan telah cukup lama menjalankan kedaulatannya di pulau tersebut.
2.2.   Teori-teori Okupasi
          Diperlukan teori untuk menentukan keluasan wilayah yang tercakup oleh tindakan okupasi. Beragam teori mengenai masalah ini telah dikemukakan dari waktu ke waktu3 dan dua dari teori-teori tersebut dianggap memiliki arti penting dalam kaitannya dengan klaim-klaim beberapa negara tertentu di daerah kutub, yaitu:
a.      Teori Kontinuitas, menurut teori ini mana suatu tindakan okupasi disuatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam di wilayah terkait.
b.      Teori Kontiguitas, menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.
          Kedua teori tersebut sampai tingkat tertentu tercermin dalam klaim-klaim yang diajukan oleh negara-negara terhadap wilayah kutub berdasarkan prinsip sektor. Dengan klaim-klaim berdasarkan prinsip ini, beberapa negara yang wilayahnya berbatasan dengan daerah kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatan terhadap tanah atau laut yang membeku di dalam suatu sektor yang dibatasi oleh garis pantai wilayah ini dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan di Kutub Utara atau Kutub Selatan. Klaim-kalim seperti ini telah dikemukakan baik di Artic (oleh Uni Siviet dan Kanada khususnya) maupun di Antartika (oleh Argentina, Australia, Inggris). Dasar pembenaran utama untuk klaim-kalim sektor tersebut adalah tidak dapat diterapkannya terhadap wilayah-wilayah kutub yang tidak dapat dimasuki, dengan kondisi-kondisi iklim dan kurangnya pemukiman, prinsip-prinsip normal asumsi fisik kontrol yang tersirat dalam hukum internasional mengenai okupasi.
          Satu hal yang jelas, praktek sejumlah kecil negara pada waktu mengajukan klaim-kalim sektor tidak menciptakan suatu kaidah kebiasaan bahwa suatu metode diperolehnya wilayah kutub tersebut diperkenankan dalam hukum internasional. Yang perlu diperhatikan di sini hanyalah keberatan-keberatan dari negara-negara non-sektor dan keraguan para yuris terhadap validitas klaim-kalim sektor, dan pendapat umum yang disampaikan bahwa kawasan kutub  harus tunduk  pada rezim internasional.

2.3.   Contoh penguasaan teritorial secara Okupasi
SENGKETA PULAU MIANGAS
Pulau Miangas hanyalah satu dari 12 pulau terluar di Nusantara yang lama nyaris tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang terletak dekat perbatasan antara Indonesia dengan Filipina. Pulau ini termasuk ke dalam desa Miangas, kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Miangas adalah salah satu pulau yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina. Masyarakat setempat menamakan Mangiasa yang berarti menangis atau kasihan karena letaknya sangat terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi laut. Ada pula yang menyebut Pulau Tinonda yang berarti diseberangkan karena upaya Raja Talaud yang memindahkan atau menyeberangkan beberapa keluarga dari Pulau Karakelang ke Pulau Miangas.
            Sejak dahulu Miangas sudah menjadi tapal batas utara bagi Kerajaan Talaud bersama Pulau Napombalu sebagai batas selatannya. Setelah sistem kerajaan berakhir, secara administratif Pulau Miangas menjadi bagian wilayah Pemerintahan Kabupaten Sangihe-Talaud dan kini berkembang masuk wilayah Nanusa – Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.
Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Indonesia sehingga rawan masalah perbatasan, terorisme serta penyelundupan. Pulau ini memiliki luas sekitar 3,15 km². Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Pulau Miangas memiliki jumlah penduduk sebanyak 678 jiwa (2003) dengan mayoritas adalah Suku Talaud. Secara geografis posisi Pulau Miangas berada di 5 derajat 33/lintang utara dan 126 derajat 34/bujur timur. Perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi dikarenakan kedekatan jarak dengan Filipina. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat lebih mudah dan murah membeli dari wilayah Filipina. Bahkan uang yang mereka pergunakan umumnya adalah peso.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas antara kedua negara. Ironisnya, intensitas hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kesadaran nasional warga kepulauan tersebut. Masyarakat setempat lebih mengenal pejabat Filipina ketimbang Indonesia. Hal ini terungkap ketika pada awal 1970-an sejumlah pejabat pemerintah pusat yang menyertai kunjungan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos menghiasi rumah penduduk.
Mulai saat itu pula, kehidupan masyarakat perbatasan di Kabupaten Sangihe-Talaud mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain dengan membuka jaringan pelayaran perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun keterpencilan membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-pulau perbatasan namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, setidaknya dalam pendidikan mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini tentu positif bagi keutuhan bangsa dan negara RI.
Okupasi Indonesia di Pulau Miangas dengan pemberian Kartu Tanda Penduduk (KTP), pembangunan jaringan Perusahaan Listrik Tenaga Disel 10 KVA, dan pemasangan simbol-simbol negara.
Faktor Kerawanan
1.           Letak geografis di persimpangan jalan antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dan Benua Asia dan Australia sehingga sering dilewati pelayaran Internasional.
2.           Struktur negeri yang berbentuk kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80.000 km terpanjang didunia yang pada umumnya terbuka di kawasan sekitar 8 juta km 2 yang tersebar secara tidak teratur yang didiami oleh penduduk secara tiadak merata bahkan masih banyak pulau-pulau yang tak berpenduduk.
3.           Isu-isu globalisasi terutama yang menyangkut demokratisasi hak asasi manusia ,liberalisasi ekonomi dan informasi telah meningkatkan kerawanan-kerawanan di daerah perbatasan.
4.           Masih ada batas-batas laut negara yang sudah dirundingkan dan disepakati secara bilateral ,belum memiliki pengakuan secara Internasional dikarenakan batas-batas laut tersebut belum didepositkan di PBB.
Pengakuan Filipina Atas Pulau Miangas
Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu dan Trakat Paris tahun 1989, merupakan wilayah Philiphina. Pernyataan Konsulat Jenderal RI untuk Davao City Philipina yang mengejutkan bahwa Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu merupakan wilayah Philiphina, bahkan masalah ini dengan UU pemerintah Philipina yang baru, kedua pulau ini telah masuk pada peta pariwisata Philipina. Pemerintah Philipina mengakui keberadaan pulau Miangas sebagai miliknya berdasarkan Trakat Paris tahun 1989, Trakat Paris tersebut memuat batas-batas Demarkasi Amerika serikat (AS) setelah menang perang atas Spanyol yang menjajah Philipina hingga ke Miangas atau La Palmas. Trakat itu sudah dikomunikasikan Amerika Serikat ke Pemerintah Hindia Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal yang diajukan pemerintah hindia Belanda terhadap Trakat itu. Akan tetapi, putusan arbiter internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas kepemilikan Pulau Miangas. Menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep “hukum intertemporal” dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu. Dalam hal ini bukanlah menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis.
            Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Hingga kini Indonesia dan Philipina belum mengikat perjanjian batas wilayah tersebut. Selanjutnya, dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral Indonesia–Filipina sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina masih menggunakan dalil bahwa Las Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan Magelhaens di pulau pada tahun 1512. Di samping itu, konstitusi Filipina masih menyebutkan Las Palmas dalam yurisdiksi dan kedaulatannya.
Argumentasi di atas, dapat ditepis Pemerintah RI berdasarkan penetapan batas wilayah “Kerajaan Kepulauan Talaud” yang menjadi bagian dan tradisi masyarakat setempat. Secara historis, pengakuan batas wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi sejak kepulauan Talaud dan Filipina bagian selatan berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tidore. Dalam hal ini, Indonesia harus menggunakan argumentasi historis-politis dan administratif.
Bersamaan argumen di atas, langkah pemindahan sebagian penduduk dan dilanjutkan dengan pembangunan gereja serta pendirian Jemaat Kristen Protestan sebagai bagian dari GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe dan Talaud) merupakan hal yang berguna bagi status Pulau Miangas. Karena ini dianggap sebagai tindakan aktif yang menghadirkan institusi gereja di pulau ini. Bahkan tercatat wilayah pelayanan gereja (GMIST) mencakup Filipina bagian selatan.
            Seiring perkembangan waktu, isu Miangas mencuat kembali di awal tahun 2002. Adanya pernyataan yang menilai Pulau Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, mengundang keprihatinan penduduk di pulau yang berdekatan dengan negara Filipina itu. “Kami sangat prihatin akan pemberitaan mengenai Pulau Miangas yang seakan-akan tidak ada mengandung fakta-fakta hukum dari seorang yang dianggap dituakan di daerah, yang dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap pulau Miangas sebagai bagian dari wilayah kepulauan Indonesia”.
            Sehubungan dengan itu, masyarakat setempat menyatakan bahwa jika demikian halnya, biarlah rakyat Miangas yang bertanggungjawab sendiri kepada PBB. Dalam menanggapi isu bahwa Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, warga menyatakan akan tetap mempertahankan pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Karena itu, sebagaimana yang tertuang dalam kebulatan tekad masyarakat Pulau Miangas dan ditandatangani oleh 20 perwakilan masyarakat dari 4 delegasi, dengan tegas menolak penguasaan wilayah perbatasan Indonesia (Pulau Miangas) oleh bangsa lain. Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan konstitusi dan Hak Asasi Manusia.
            Hampir senada dengan politisi Sangihe-Talaud, sejumlah politisi Filipina yang berada di Davao, Mindanau serta para kalangan akademisi mengangkat isu tentang kepemilikan Pulau Miangas, Marore dan Marampit. Bahkan, seorang Profesor di Universitas Filipina, H. Harry Roque menyatakan putusan pada tanggal 4 April 1928 antara Amerika Serikat dengan Belanda belum final karena Pulau Miangas, Marore dan Marampit termasuk dalam traktat Paris tersebut.
            Padahal menurut catatan, pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil perundingan antara pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan Pulau Miangas termasuk dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri budayanya sama dengan masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah dari Pulau Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang. Hal itu lebih dipertegas lagi dengan diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana Miangas tetap berada dalam wilayah Indonesia.
            Kiranya, klaim politis yang berkembang saat ini Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadi sebagaimana Sipadan dan Ligitan. Setelah pernyataan klaim politis atas Pulau Miangas (2002), jawaban resmi pemerintah Filipina lewat Menteri Luar Negeri Blas F. Ople menyatakan bahwa Miangas yang dalam Peta Filipina disebut Las Palmas, adalah sah milik Indonesia. Bahkan dalam kesempatan kunjungan tiga hari Menlu Blas F. Ople di Manado (1-3 Mei 2003), menawarkan kerjasama di bidang Keamanan dan Ekonomi mengingat intensitas dan aktifitas masyarakat kedua negara sangat potensial dan sudah terjalin sejak lama.                  
            Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.



















B A B III

PENUTUP

3.1.   Kesimpulan
          Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tiak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan atupun suatu hal yang tidak mungkin yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya.
          Dalam menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional atau tidak, maka prinsip keefektifan diterapkan dalam sebagian besarnya. Dalam Eastern Greenland Case, Permanent Court Of International Justice menetapkan bahwa okupasi, supaya efektif mensyaratkan dua unsur di pihak negara yang melakukan:
a.        Suatu kehendak atau keinginan untuk bertindak sebagai yang berdaulat;
b.        Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.
          Diperlukan teori untuk menentukan keluasan wilayah yang tercakup oleh tindakan okupasi. Beragam teori mengenai masalah ini telah dikemukakan dari waktu ke waktu dan dua dari teori-teori tersebut dianggap memiliki arti penting dalam kaitannya dengan klaim-klaim beberapa negara tertentu di daerah kutub, yaitu:
a.      Teori Kontinuitas, menurut teori ini mana suatu tindakan okupasi disuatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan alam di wilayah terkait.
b.      Teori Kontiguitas, menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.
3.2.   Saran
          Hilangnya Pulau Ligitan dan Ambalat sebagai pelajaran bagi Indonesia untuk terus memantau dan meratakan pembangunan disetiap wilayah NKRI, agar tidak mudah lepas dan dikuasai oleh negara lain. Berikan perhatian lebih kepada daerah-daerah terpencil agar benar-benar merasa utuh menjadi wilayah kesatuan RI.

         





















 
MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
Judul :
TEORI OKUPASI TERITORIAL




















Disusun oleh :
Maya Sari Dewi

Ruang 434
Fakultas Hukum
UNIVERSITAS PAMULANG





Pamulang, Januari 2012


 ii
 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….....…………    i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………....…………..    ii
BAB I    PENDAHULUAN
               1.1. Latar Belakang Masalah …………………………………………....…………….. 1
   1.2. Rumusan Permasalah ………………..…………………………....………………. 1
BAB II   PEMBAHASAN MATERI
2.1.   Pengertian Okupasi …………………………………..................................... 3
2.2.  Teori-teori Okupasi .........................……………....................………......... 4
2.3    Contoh penguasaan teritorial secara Okupasi ..........………………….. 5
BAB III  SIMPULAN DAN SARAN
3.1.  Simpulan …………………………………….…………………………..……....12
3.2.  Saran ……………………………………………….………………………....... 12





















  i
 
Kata Pengantar
          Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa karena atas karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Hukum Internasional, walaupun dengan keterbatasan ilmu dan wawasan serta berpedoman pada literatur yang ada dan daftar kepustakaan akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini walaupun masih banyak kekurangannya.
          Dalam penyusunan tugas ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan sehingga perlunya adanya saran dan sumbangan pikiran agar tugas makalah ini  menjadi sempurna dan bermanfaat bagi kalangan akademisi guna menambah wawasan.
          Harapan kami semoga tugas ini dapat digunakan sebagai bahan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Dagang.


                                                                                                                         Penyusun















 
DAFTAR PUSTAKA


http://imran.ngeblogs.com/2009/12/20/544/ Disadur pada: 15 Februari

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, edisi: 10. Jakarta: Sinar Grafika

www.kbrisingapura.com/docs/reklamasi_bab2a.pdf


1  Advisory opinion of the International Court of Justice on the Western Sahara, ICJ 1975, 12. Mengenai permasalahan Kolonisasi dengan okupasi wilayah-wilayah afrika yang pada saat itu, didiami oleh suku-suku bangsa, lihat Malcom Shaw, Title to Trritory In Africa; International Legal Issue (1984)
2 (1993) Pub PCIJ Series A/B, No. 53.
3  Untuk pembahasan atas teori-teori itu, lihat Westlake, International Law (2nd edn, 1910) Vol I, hal 113 dan seterusnya.