Pengadilan di Indonesia
1.
Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan
Negeri
Pengadilan
Negeri ialah suatu pengadilan (umum) sehari-hari yang memeriksa dan memutuskan
perkara perkara dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk (warga Negara
dan orang asing)
Pengadilan
Negeri menurut pasal 4 ayat (1) berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota atau daerah tingkat II.
Pengadilan ini dibentuk oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Mahkamah
Agung.
Pada
tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan suatu Kejaksaan Negeri, sebagai alat
pemerintah yang bertindak sebagai Penuntut Umum dalam suatu perkara pidana
bukan perdata, terhadap si pelanggar hukum pidana (bertindak untuk
mempertahankan kepentingan masyarakat) dan Kejaksaan pula dibebani dengan tugas
pengusutan pelanggaran pidana yang telah terjadi dan tugas pelaksanaan
keputusan hakim.
Pengadilan Agama
Peradila
agama adalah Kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara perkara tertentu antara orang orang yang beragama
Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Peradilan
adalah Kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan
Pengadilan
adalah lembaga penyelenggara peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Pengadilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan
UU No. 5 Tahun 1986 Pasalm 1 ayat (1) menyebutkan bahwa : “ Tata Usaha Negara
adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintah, baik dipusat maupun di daerah ”.
Pasal
4 dalam UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara
adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa Tata Usaha Negara ”. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas,
maka Pengadilan Tata Usaha Negara adalah lembaga khusus yang melaksanakan
peradilan dalam sengketa Tata Usaha Negara tersebut.
Pengadilan Tata Usaha Negara
terdiri atas :
Pengadilan
Tata Usaha Negara, sebagai peradilan pada tingkat pertama
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, sebagai peradilan pada tinggkat kedua/ banding. Menurut
Pasal 11 ayat (1), susunan Pengadilan Tata Usaha Negara ini terdiri dari
Pimpinan, yaitu Ketua dan Wakil Ketua, Hakim Anggota, Panitera dan Sekertaris
pengadilan.
Pengadilan
Tata Usaha Negara ini berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota provinsi, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi.
Kekuasaan
dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal
47 yang menyebutkan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang
dimaksud dengan “sengketa Tata Usaha Negara” tersebut, menurut Pasal 1 angka 4
adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat
maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari
ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan sengketa Tata
Usaha Negara terdiri dari beberapa unsure sebagai berikut :
Sengketa
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, yaitu mengenai perbedan pendapat
mengenai penerapan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara Sengketa tersebut
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Dengan demikian tidak akan mungkin sampai terjadi adanya sengketa Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4, antara lain :
– Orang
atau badan hukum perdata dengan orang atau badan hukum perdata
– Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
lainnya
Sengketa
yang dimaksud sebagai akaibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
dimana sengketa Tata Usaha Negara selalu sebagai akibat dari dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara. Tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
tidak mungkin sampai terjadi sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) yaitu suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain
itu, Pengadilan Tata Usaha juga mengadili sengketa kepegawaian, berdasarkan
yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (4), yakni sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang yang menduduki jabatan sebagai Pegawai Negeri
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dibidang kepegawaian,
tidak hanya di lingkungan Pegawai Negeri Sipill saja, tetapi juga termasuk yang
terjadi dilingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.
Pengadilan Tingkat Banding
Pengadilan Tinggi
Pengadilan
Tinggi (PT) ialah pengadilan banding yang mengadili lagi pada tingkat kedua
(tingkat banding) suatu perkara perdata dan/atau perkara pidana, yang telah
diadili/diputuskan oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama. Pemeriksaan
yang dilakukan pada Pengadilan Tinggi hanya atas dasar pemeriksaan berkas
perkara saja, kecuali bila Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung
mendengarkan para pihak yang berperkara.Organisasi Pengadilan Tinggi sebagai
tingkat banding, berdasarkan Bab II UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah
dengan UU No. 8 Tahun 2004.
Menurut
Pasal 10 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2004 tersebut, susunan Pengadilan Tinggi
terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekertaris.
Pengadilan
Tinggi dibentuk oleh Undang-Undang. Daerah hukum Pengadilan Tinggi pada asasnya
meliputi satu daerah tingkat I. Pengadilan Tinggi di Indonesia sendiri tersebar
di berbagai wilayah Indonesia yang hingga saat ini berjumlah 20 Pengadilan
Tinggi.
Adapun
kekuasaan Pengadilan Tinggi secara umum diatur dalam Bab III UU No. 2 Tahun
1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004, antara lain :
Berwenang mengadili perkara
di Tingkat Banding
Menurut
Pasal 51 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004, sebagai Peradilan Tingkat Banding,
Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perdata
terhadap putusan yang dijatuhkan Peradilan Tingkat pertama.
Mengenai
kewenangan ini, ditegaskan juga dalam Pasal 21 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
(sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970) yang menegaskan, terhadap putusan
peradilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi
oleh pihak yang bersengketa.
Bertugas
dan berwenag memutus sengketa kewenangan mengadili
Tugas
dan wewenang ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2), yaitu sebagai berikut :
Memutuskan sengketa kewenangan mengadili
antara Pengadilan Negeri didalam daerah hukumnya.
Sebagaimana
pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1986 sebgaimana diubah dengan UU No.
8 Tahun 2004, Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi. Sedangkan, Pengadilan Negeri menurut pasal
4 ayat (1) berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota. Sehingga di setiap daerah hukum Pengadilan
Tinggi terdapat beberapa Pengadilan Negeri.
Keberadaan
beberapa Pengadilan Negeri pada satu wilayah hukum Pengadilan Tinggi,
kemungkinan dapat menimbulkan sengketa kewenangan atau perselisihan kewenangan
mengadili (gaschillen over competentie) berdasarkan patokan kewenangan relative
(relatieve competentie).
Apabila
antara dua Pengadilan Negeri atau lebih terjadi sengketa kewenangan mengadili
sengketa kewenangan mengadili secara relative dalam wilayah hukum Pengadilan
Tinggi, yang bertugas dan berwenang memutus perselisihan tersebut adalah
Pengadilan Tinggi yang meliputi wilayah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Putusan
Pengadilan Tinggi atas penyelesaian sengketa kewenangan mengadili bersifat
tingkat pertama dan terakhir.
Selanjutnya
Pasal 51 ayat (2) tersebut menegaskan, putusan yang dijatuhkan Pengadilan
Tinggi dalam mengadili sengketa kewenangan mengadili :
Bersifat
tingkat pertama dan terakhir (first and the last instance)
Dengan
demikian, putusan tersebut langsung final dan mengikat (final and binding)
kepada para pihak yang bersengketa maupun kepada Pengadilan Negeri yang
terlibat, dan terhadapnya tertutup upaya kasasi atau perlawanan. Oleh karena
itu, Pengadilan Negeri yang berselisish tidak dapat mengajukan upaya apapun,
selain dari menaati putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan.
Dapat
memberI keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum.
Kekuasaan
lain yang dilimpahkan berdasarkan Paal 52 UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana
diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004, yaitu memberikan keterangan,
pertimbangan, dan nasihat tentang hukum kepada instansi tentang hukum kepada
Instansi Pemerintah di daerahnya apabila diminta dengan acuan penerapan sebagai
berikut.
Kewenangannya
bersifat fakultatif
Sifat
ini didasarkan dengan redaksi pada pasal tersebut yang menyebutkan “dapat
memberikan” bukan “mesti memberikan”, yang berarti Pengadilan Tinggi tidak
mesti member tetapi dapat memberi atau dapat juga tidak memberi keterangan,
pertimbangan dan nasihat. Pengadilan Tinggi tidak dapat dipaksa dalam hal ini,
namun dibenarkan jika tidak memberi.
Diberikan
kepada Instansi Pemerintahan di daerahnya, kebolehan memberikan keterangan,
pertimbangan dan nasihat menurut Pasal 52 ayat (1) ini, sifatnya terbatas :
Hanya
dapat diberikan kepada Instansi Pemerintah yang ada didaerah hukumnya, yaitu
badan/ lembaga yang bertindak melaksanakan fungsi control dan kebijaksanaan
administrasi pemerintahan.
Hukum
tidak membenarkan pemberian kepada badan swasta, diberikan atas permintaan;
Berdasarkan
pasal tersebut juga, Pengadilan Tinggi tidak bertindak pro-aktif dalam member
keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum kepada Instansi pemerintahan
yang ada di daerah hukumnya :
Hal
itu baru dapat diberikan, apabila ada permintaan dari instansi pemerintahan
yang memerlukan. Namun oleh karena sifat kekuasaan ini fakultatif, dalam
kategori dapat dibenarkan, Pengadilan Tinggi berwenang member keterangan,
pertimbangan dan nasihat hukum yang diminta. Pemberian keterangan, pertimbangan
dan nasihat dikecualikan dalam hal yang berhubungan dengan perkara, yang
menyebutkan bahwa;
Menurut
Pasal 52 ayat (1), keterangan, pertimbangan dan nasihat yang dapat diberikan
Pengadilan Tinggi adalah hal yang berkenaan dengan hukum. Jadi, berupa
keterangan atau pernyataan hukum (legal statement), pertimbangan hukum (legal
judgement), maupun nasihat hukum (legal advice) atau pendapat hukum (legal
opinion) mengenai suatu kasus tertentu.
Akan
tetapi, kebolehan Pengadilan Tinggi untuk memberikan hal tersebut terdapat
pengecualiannya, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) :
“Pemberian
keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum dikecualikan dalam hal-hal
yang berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan diperiksa di Pengadilan”
Pengecualian
ini juga berlaku bagi perkara yang sedang atau yang akan diperiksa oleh salah
satu Pengadilan Negeri yang berada di daerah hukum Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan.
Melakukan
pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekertaris
dan juru sita. Pengawasan atas pelaksanaan peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan. Tujuan dari pengawasan ini, agar proses penyelesaian perkara
benar-benar terlaksan secara efektif dan efisien. Tidak memakan waktu lama dan
biaya mahal. Sebagai landasan pengawasan, dapat berpatokan dan berpedoman pada SEMA
No. 6 Tahun 1992 yang menggariskan penyelesaian perkara dalam tingkat pertama
dan banding dalam waktu 6 bulan dari tanggal register perkara.
Dalam
SEMA ini, Pengadilan Tinggi diperintahkan agar memberi teguran, peringatan dan
petunjuk yang diperlukan, supaya benar-benar terlaksana jalannya peradilan
sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Dalam
rangka melaksanakan pengawasan, Ketua Pengadilan Tinggi dapat member petunjuk,
teguran dan peringatan.
Dalam
rangka melaksanakan pengawasan jalannya pelaksanaan tugas peradilan,
undang-undang member kewenangan kepada Ketua PT dalam kategori dapat member
petunjuk, teguran dan peringatan kepada hakim yang bertugas didaerah hukumnya,
dengan memperhatikan :
Apabila
hal itu dipandang perlu, tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara.
3.
Pengadilan Tingkat Kasasi
Mahkamah Agung
Mahkamah
Agung sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berkedudukan di ibu
kota Republik Indonesia ataupun di lain tempat yang ditetapkan oleh Presiden,
hal ini berdasarkan Pasal 40 UU No. 13 Tahun 1965[1]. Mahkamah Agung adalah
badan peradilan mengatasi lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha
negara.
Menurut
Pasal 41 UU No. 13 Tahun 1965 Mahkamah Agung terdiri atas seorang Ketua,
seorang Wakil ketua, beberapa orang Ketua muda dan beberapa Hakim anggota,
dibantu oleh seorang Panitera dan beberap aorang Panitera pengganti.
Sebagai
lembaga tertinggi yang memayungi lembaga-lembaga pengadilan di Indonesia,
Mahkamah Agung memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih kompleks yakni :
Wewenang dalam Peradilan
a) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah
Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam
penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar
semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara
adil, tepat dan benar.
b) Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi,
Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir
– semua
sengketa tentang kewenangan mengadili.
– permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun
1985)
– semua
sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan
Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah
hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan
perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau
dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih
tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Wewenang Pengawasan
a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar
peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama
dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara
(Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun
1970).
b) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan
terhadap :
– pekerjaan
Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam
menjaankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan
Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan
petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
– Penasehat
Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang
Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Wewenang Mengatur
a) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah
Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang
No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara
sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur
Undang-undang.
Wewenang Menasehati
a) Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau
pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain
(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung
memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian
atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14
Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat
ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan
dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
Wewenang Administratif
a) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana
dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen
yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta
tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan
(Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Wewenang Lainnya
Selain
tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung
dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Hal
ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya
dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah
Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945 mempunyai
4 wewenang dan satu kewajiban[2]. Adapun kewenangannya
adalah :
a.
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.
Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945
c.
Memutuskan pembubaran partai politik
d.
Menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan
umum
Sedangkan
kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan / atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dalam
perkembangannya kewenangan Mahkamah Konstitusi sekarang bertambah satu lagi
yaitu memutuskan sengketa Pilkada, yang sebelumnya menjadi kewenangan dari
Mahkamah Agung. Peralihan kewenangan daru Mahkamah Agung kepada Mahkamah
Konstitusi didasarkan ketentuan Pasal 236 C Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Dalam Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 disebutkan bahwa : “Penanganan
sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
Undang-Undang di undangkan”.
Kewenangan
konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances
yang menempatkan semua lembaga Negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat
keseimbangan dalam penyelenggaraan Negara.
Susunan
organisasi Mahkamah Konstitusi terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota hakim
konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk
masa jabatan selama 3 (tiga) tahun. Mahkamah Konstitusi ini memiliki 9
(sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
[1] Yahya, Harahap, Kekuasaan Mahkamah
Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2008) hlm. 5
[2] Bambang Suyitno, Tata Cara
Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta : UII
Press, 2009), hlm. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar