PENYEBAB MARAKNYA TINDAK KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
(UNDANG-UNDANG RI NO. 23 TAHUN 2004)
Salah
satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era
reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya
kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua
terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa
KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi”
tersebut meliputi:
a. Ideologi,
berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan;
b. Tindakan,
pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
c. Niat,
diskriminasi langsung atau tidak langsung;
d. Akibat;
e. Pengurangan
atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak dan kebebasan,
f. Diskriminasi
dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,) dan oleh setiap
pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian diskriminasi
tersebut sangat jelas digambarkan adanya pembedaan perlakuan berupa pengucilan
atau pembatasan terhadap perempuan (atas dasar jenis kelamin) yang mempunyai
‘pengaruh’ atau ‘tujuan’ untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya. Dalam
rangka melakukan pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan-kebijakan
pelaksanaannya, Indonesia terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan
perundang-undangan baru atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni,
pembaharuan sistem hukum secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang
jelek atau salah dari sistem hukum tersebut agar menjadi benar dan lebih baik
dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara”. Dalam hal ini, Indonesia
antara lain telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) yang dalam
pertimbangan serta pengaturannya sarat dengan muatan yang memperhatikan
perspektif gender.
Definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir 1 UU-PKDRT sebagai berikut:
”Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga”.
Korelasi lain bahwa KDRT adalah merupakan bentuk kekerasan
berbasis gender dan juga sebagai bentuk diskriminasi, adalah sebagaimana
dinyatakan dalam Alinea ke-empat Penjelasan Umum UU-PKDRT, yang menegaskan:
”........Negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah
tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi”. Pernyataan atas pandangan negara
tersebut adalah sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya, dan amanat
Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal
28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
bahwa ”Setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”.
Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10
dan Pasal 11):
a. Departemen
Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi
korban;
b. Departemen
Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
c. Kepolisian
R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap
korban;
d. Rumah
Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
e. Lembaga
Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau
penanganan korban.
Partisipasi dan keterlibatan
masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT juga sudah mulai nampak
perhatiannya, namun masih perlu ditingkatkan pemahaman dan kewaspadaannya akan
akibat KDRT melalui peningkatan kepedulian sosial di lingkungan sekitarnya.
Adanya sistem hukum yang
belum bersahabat dengan perkara-perkara KDRT bukan semata karena isi
undang-undangnya, namun lebih pada mindset para aparat penegak hukum, aparat
pemerintah, dan masyarakat luas yang masih dilingkupi pandangan yang patrarkhis
sehingga tindakan-tindakan diskriminatif kerapkali mewarnai pada kehidupan
sehari-hari sebagai bukti adanya KDRT terjadi dalam masyarakat. Langkah untuk
menuju adanya sistem hukum yang responsif gender masih butuh perjuangan keras
melalui berbagai upaya, termasuk untuk solusi pemecahan akar-akar
permasalahannya.